h

Arti dan Makna Sembahyang Leluhur (Qing Ming)

Oleh : Suryanto BSc
QING MING. Di Kalimantan Barat lebih banyak orang menyebut sembahyang kubur, karena sembahyangnya di depan Pusara. Qing Ming adalah budaya orang Tionghoa yang luar biasa tingginya, karena makna yang terkandung didalamnya mempunyai arti yang mendalam dan mencakup berbagai aspek kehidupan manusia serta mempunyai hubungan dengan Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Sembahyang leluhur (Qing Ming) tentunya ada beberapa sesajen yang dihidangkan sebagai perlengkapan sembahyang. Diantaranya SAN SHENG (Tiga jenis makhluk hidup), WU GUO (Lima jenis buah-buahan), KUE-KUE, dan MING-ZHI (Uang kertas alam baka), serta perlengkapan lainnya. San Sheng berupa daging babi, daging ayam/itik, dan daging Ikan/sotong. Maknanya adalah daging babi melambangkan daratan, daging ayam/itik melambangkan udara dan daging ikan/sotong melambangkan air. Ketiganya adalah sumber kehidupan manusia. Apabila tanpa ketiga sumber kehidupan, maka tiada makhluk di dunia ini dapat hidup.

Wu Guo berupa lima jenis buah-buahan maknanya adalah hasil buah-buahan merupakan suatu karya Tuhan melalui manusia, artinya manusia menanam, Tuhan memberikan kehidupan. Dalam hal ini tersirat kerja sama antara Tuhan dan Manusia. Kue-kue maknanya adalah manusia diciptakan di dunia wajib berusaha dan berkarya, perwujudannya melalui hidangan kue-kue sebagai hasil karya manusia. Sedangkan Ming-Zhi adalah uang kertas alam baka dan hal ini diyakini oleh pemeluk Agama Khonghucu bahwa setelah kematian masih ada kehidupan lain yakni kehidupan alam baka.

Budaya yang terdapat pada masyarakat Tionghoa atau umat Khonghucu, saat-saat berkumpul bersama-sama secara lengkap adalah ketika orang tua masih hidup atau merayakan pesta ulang tahun orang tua. Tetapi apabila orang tua telah tiada, maka saat-saat berkumpul (Silahturrahmi) adalah saat sembahyang leluhur (Qing Ming). Hal ini terlihat, selalu penuh sesaknya penumpang pesawat dari berbagai kota besar ke Pontianak saat mendekati hari Qing Ming.

Sembahyang leluhur (Qing Ming) cenderung dilaksanakan di depan pusara/kuburan. Pernah ada yang bertanya, apakah sembahyang leluhur boleh dilaksanakan di depan rumah ? jawabnya adalah boleh. Akan tetapi alangkah baiknya bila dilaksanakan di pusara. Ada satu gambaran yang dapat memberikan penjelasan kepada pembaca misalnya : Si A menelepon seorang temannya Si B dengan tujuan akan meminta sesuatu, dan jawaban dari Si B membuat Si A ragu-ragu apakah Iklas atau sebaliknya. Tetapi akan lain hasilnya bila Si A datang langsung kepada Si B dan menyatakan meminta sesuatu, dari jawaban dan sikap Si B dapat diketahui secara pasti keiklasannya. Kesimpulan dari gambaran ini adalah bahwa segala sesuatu harus berhadapan langsung. Demikian juga sembahyang leluhur atau (Qing Ming) dianjurkan di Pusara, karena lebih Khusuk. Dalam ajaran Nabi Agung Kong Zi di sampaikan bahwa, " Pada waktu sembahyang kepada leluhur, hayatilah akan kehadirannya dan waktu sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Rokh, hayatilah pula akan kehadiran-Nya". (Sabda Suci III:12:1)

Selain anjuran tersebut, Nabi juga mengajarkan hal kesederhanaan yakni, "Di dalam upacara, dari pada mewah menyolok, lebih baik sederhana. Di dalam upacara duka, dari pada meributkan perlengkapan upacara, lebih baik ada rasa sedih yang benar". ( Sabda Suci III:4:3). Berpedoman pada Sabda Nabi ini menganjurkan kepada kita bahwa segala perlengkapan upacara harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi kita masing-masing, dan tidak boleh memaksakan diri untuk mengikuti persyaratan yang ditetapkan secara turun-temurun. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa segala sesajen atau perlengakapan merupakan simbol dari sebuah upacara sembahyang.

Dari serangkaian penjelasan tersebut di atas, dapat ditarik suatu makna dari upacara besar kepada leluhur itu yaitu suatu perwujudan dari anak cucu sebagai penghormatan dan laku bakti kepada orang tua atau leluhurnya. Sikap laku bakti itu merupakan pokok kebajikan, oleh karena itu, " Pada saat hidup, layanilah sesuai dengan kesusilaan, ketika meninggal dunia, makamkanlah sesuai dengan kesusilaan, dan sembahyangilah sesuai dengan kesusilaan (Sabda Suci II:5:3). Sabda ini merupakan cermin kehidupan bagi umat Khonghucu, sekalipun telah jauh tetapi tidak akan lupa memperingati upacara sembahyang besar kepada leluhur.